Sabtu, 30 Januari 2010

Nilai-nilai Intangible

Assalamualaikum Wr Wb,

Sambil nungguin dagangan yang lagi sepi pengunjung, iseng-iseng saya coret-coret kertas, … eh kog yang tertulis “Nilai-nilai Intangible”, kosakata ini kayaknya dulu sekali pernah akrab ditelinga, dan kebetulan ada yang melontarkan kata ini beberapa waktu yang lalu di milis Pengusaha-Muslim.com. Saya jadi teringat Gorge Torok (The Yukon Spirit : Nurturing Entrepreneurs) .

Kata si Gorge yang melakukan penelitian para pengusaha (pebisnis), menyimpulkan bahwa tidak semua orang yang punya modal tangible bisa disebut pengusaha atau pebisnis. Bisa saja mereka menjadi pengusaha dalam waktu seminggu, sebulan, atau beberapa bulan ke depan tetapi selebihnya mereka bukan pengusaha lagi. Banyak pebinis di negeri ini yang modalnya pas-pasan, tapi karena keadaan, atau karena tidak ada pilihan lain terpaksa jadi pengusaha, atau bisa juga karena peran orang tua yang punya banyak fulus dan aneka fasilitas, menganjurkan atau mendukung anaknya jadi pengusaha (daripada kerja sama orang lain), lantaran tidak tega kalau anaknya diperintah-perintah sama orang lain (sayang anak yang berlebihan) ....

Sebenarnya, pebinisnis yang saya maksud disini adalah bisnis owner. Itu kan wujud manusia yang berbeda. Mengapa? … Coba saja perhatikan atau cermati baik-baik ... Mereka itu (pebisnis) adalah orang-orang yang berani. …… Berani menghadapi risiko, rasa=rasanya mereka tidak kenal yang namanya kapok, tangguh, tidak kenal lelah, apalagi kalau lagi kebanjiran order, atau paling tidak bila dibandingkan dengan orang-orang yang kerjaannya menunggu tanggal gajian. Pokoknya komplit, mereka itu juga termasuk "penikmat kesatuan rasa," …. Ada rasa harap, rasa cemas, rasa penantian, rasa ketidak pastian … Pokoknya, macam-macam rasa deh ….

Menurut si Gorge, modal intangible yang dibutuhkan untuk menjadi pengusaha adalah :

*) Memiliki dorongan batin yang kuat untuk maju (personal drive)

*) Memiliki fokus yang tajam tentang apa yang dilakukannya, dan kemana dia akan membawa usahanya (fokus)

*) Memiliki kemampuan yang kuat untuk berinovasi (produk, sistem, cara, metode, service, dst … maaf kepanjangan)

*) Memiliki sikap mental “saya bisa” (The I can mental attitude) dalam menghadapi persoalan-persoalan yang kedatangannya seperti tamu tak diundang

*) Memiliki kemandirian dalam mengambil keputusan (berdasarkan pengetahuan, pengalaman, skill, intuisi, dan akal sehatnya)

*) Memiliki kemampuan untuk “tampil beda” atau memunculkan keunggulan-keunggulan (kreatif)

Mengapa begitu?, saya tidak tahu persis alasan si George tentang 'spiritual-mistikal' yang mengilhami para pengusaha itu, atau gampangnya saja deh, … mungkin kurang lebih ada dua alasan yang barangkali bisa dipahami :

Pertama, seandainya kita punya modal tangible yang oke punya, tetapi kita tidak memiliki intangible yang juga oke punya, maka modal tangible kita bukan malah nambah, bisa jadi berubah jadi utang. Tapi kalau kita punya modal intangible yang berlimpah, sementara modal tangible kita pas-pasan, ini masih bisa diatasi, misalnya; jual saja ide kita, atau cari teman yang percaya sama kita, atau bisa juga ajak kerja sama ... gitu aja koq cepot, .. salah ketik, maksudnya 'repot'.

Kedua, “keahlian” tidak bisa dibeli, atau tidak bisa pinjam dari orang lain “you can not buy the skill to be great.” Dengan kata lain, uang bisa minjem, gedung buat kantor bisa sewa atau numpang di rumah mertua (kalau ada), pruduk kita bisa nge-sub dulu atau jadi agen, tapi keahlian menjalankan bisnis, tidak bisa kita beli atau pinjam. Paling-paling kita pakai tenaga ahli (bayar), tapi tetap saja keahlian itu miliknya si tenaga ahli tersebut.

“Nilai-nilai Intangible sulit diukur dengan uang”, saya cuma mengutip dari sana-sini (tukang kutip, … eh salah, tukang nasi kog). Ok, saya nyotek lagi dari artikel “Kebenaran” yang ada di webblognya pak Umar di blogdetik.com. , yang katanya, benar kata anta belum tentu benar menurut ana. Kalau dipaksakan kebenaran itu untuk jadi benar kita menerimanya atau mengakuinya, maka itu namanya “pemerkosaan akal” ….. he..he…he

Sempat ada yang menanyakan dalam forum sambil bercanda, makanan apa sih intangible itu? Kalau menurut kamus bahasa Inggris, terjemahan bebasnya, …. Hal-hal yang tidak dapat diraba, seperti misalnya cahaya, suara, aroma, dan yang seperti itu deh kira-kira. Tapi kalau dari sisi assets, katanya … Barang-barang berharga yang tidak dapat diraba, dan kalau dari sisi property, bilangnya sih … Harta milik yang tidak dapat diraba, atau yang tidak dinyatakan secara jelas (charm). Nah kalau katanya tukang nasi, …, harumnya atau wanginya aroma nasi kebuli karena inovasi cara pengolahan dan bumbunya, ….he…he…he, atau barangkali ada yang bisa kasih arti atau contoh lain, …. Silahkan tambahkan atau robah contoh ini di kolom komentar.

Keahlian menjalankan bisnis kalau engga ahli, maka buktinya bisa langsung nyata dalam bentuk antara lain :

“Gagal, rugi, tidak efektif, tidak efisien, tidak untung, dll”

Ada “kebenaran” umum (folk wisdom) yang kadang2 luput dalam pengamatan kita. Alkisah, dulu kira-kira sepuluh sampai lima belas tahun yang lalu, …… ketika para taipan atau juragan2 dadakan banyak di negeri antah berantah, .. mereka kalau mau buka suatu bisnis atau usaha, cuma perlu sedikit meluangkan waktu untuk kumpul2 ngobrol sambil ngopi atau minum teh di suatu tempat …. (rahasia ya… tempatnya), dan disela-sela obrolan, si tuan A bilang gue mau bikin Jembatan sama kapal buat anu … hm…hm…hm, ana lupa siapa pemesannya, disitu ada tuan B yang langsung menimpali obrolan itu, “besinya ambil dari gue ya ..” , ah elo mana punya pabrik besi, sanggah si tuan A, tapi si tuan B bisa langsung berkelit “ah itu sih gampang punya, gua bisa bikin pabrik, … modal biar dikit-dikit gua ada, kurangnya biar gua pinjem di Bank, gua punya banyak temen di Bank, dan kalo soal tenaga ahlinya, … gue datengin dari sono”,

Nah tuh … mulai kelihatankan arah ceritanya kemana…, dengan kata lain, apa susahnya kita merekrut sarjana ahli lalu kita gaji untuk menjalankan bisnis kita, yang selanjutnya kita tinggal menerima untungnya saja…he..he. .he

Kebenaran umum seperti ini, memang benar menurut pihak yang memang memahami, tapi prakteknya …, sebenarnya tidak benar bagi kebanyakan orang. Mengapa? …., bagi mereka yang memang sudah memahami (ahli dalam memanage-orang) hal ini oke punya, akan tetapi bagi mereka yang belum punya keahlian “managing people”, sering kali kebenaran umum ini menjadi sandungan baginya (belum tentu benar). Maksudnya, rencana bisnis kita bisa tersendat atau bahkan gagal, karena kita tidak memiliki keahlian yang memadai dengan masalah yang kita akan hadapi,… lagi2 “intangible” .

Kalau ada yang mempertanyakan, lho kok … si tuan B bisa, … ah itu sih jawabannya gampang punya, …. itu khan dulu, yakni ketika mereka-mereka masih dikelilingi “power”, tapi sekarang lihat sendiri akibatnya (BLBI, … pembahasannya bukan disini tempatnya).

Kesimpulannya, menerjuni suatu usaha di bidang apapun memang butuh fulus, butuh fasilitas (tangible, kalo orang sono bilang, eta mah … Kudu), tapi belum dapat menjamin kelangsungan suatu usaha. Untuk point yang terakhir ini, lebih banyak ditentukan oleh modal intangible yang berlimpah, maksud ana “kualitas SDM” yang kita punyai atau miliki, dan yang sesuai dengan kualifikasi dengan bidang usaha yang kita geluti. Modal usaha inilah yang akan membawa atau menentukan, apakah kita akan menjadi pengusaha sebulan atau seumur hidup.

Idealnya sih kita punya modal tangible yang berlimpah, dan juga punya modal intangible yang oke punya, cuma sayangnya, keadaan ideal ini sangat jarang terjadi. Keadaan seperti ini (punya dua-duanya), biasanya terjadi sebagai akibat dari sebuah sebab, dengan kata lain, sebagai sebuah hasil dari suatu proses. Tegasnya, Pengusaha yang memiliki keduanya, menurut kacamata ana, adalah pengusaha atau pebisnis yang tahu persis plus atau minus kaca matanya, sekarang udah min berapa?, atau plus berapa?, dengan kata lain pengusaha yang sudah kawakan dan telah matang dalam menjalankan atau mempertahankan usahanya hingga masih tetap eksis sampai hari ini, bukan orang atau pebisnis yang baru memulai merintis usaha.

Untuk orang yang baru memulai merintis usaha, problem umum yang dihadapi, adalah problem yang muncul sebagai akibat adanya keterbatasan, antara lain : terbatas modalnya, terbatas SDM-nya, terbatas fasilitasnya, terbatas dalam mengantisipasi perubahan, terbatas pelanggannya, dll. Karena itulah modal intangible jauh lebih perlu didahulukan.

Ok, posting dulu di milis, kayanya bakalan panjang neeh kisah nilai-nilai intangible sambil nyari contekan baru, dan sepertinya untuk kisah nilai-nilai intangible berikutnya, … contekannya musti yang berbau Smart …. soalnya lagi musim istilah smart sekarang. Biar agak ngetrend sedikit bahasa di pengusaha-muslim. Com, dan untuk pak Fadil, maaf ya, … topik ini ana nyotek dari kalimat antum di milis (ng’ga permisi dulu, …… jadi malu ketahuan yang punya istilah “Nilai-nilai intangible”…he..he..he)
===========

Di hari Juma’at yang cerah ini di kampung saya, sekarang kita, Insya Allah akan melanjutkan tulisan tentang Nilai-nilai Intangible, kali ini dengan memperhatikan arahan dari owner milis pengusaha-muslim.com, khususnya untuk calon-calon pengusaha muslim dan muslimah yang diharapkan bisa menjadi pengusaha yang Smart.

Memang. ada dilema tersendiri yang bakal ditemui dan mau tidak mau musti dihadapi oleh calon pengusaha pemula, bisa jadi keinginannya untuk menjadi pengusaha dibatalkan karena takut risiko, takut dengan kemungkinan-kemungkinan buruk, namun bila kita maju terus untuk jadi pengusaha dengan modal yang pas-pasan, juga ngga ada jaminan kita bakal berhasil. Memang sih, … setiap orang punya hak buat takut dengan yang namanya risiko atau sebaliknya.

Maksud ana gagalnya, kalau kita umpamakan ingin menembak suatu sasaran tembak… “Tembakan kita meleset”, ….. model yang kaya gini mah … biasa dalam bisnis. Akan tetapi, kalau kita gagal dalam arti “Kehabisan peluru”, atau “kehilangan sumber penghasilan” , lebih parah lagi “menanggung hutang”, atau karena waktu kita memulai berbisnis harus“meninggalkan pekerjaan” yang menjadi sumber utama penghasilan kita, udah pasti efeknya berbeda!

Nah, bagaimana kita mensiasatinya? (topiknya kang Imam neeh … Mencari solusi, Siasati masalah). atau cara kita berkelit dari dilema yang sulit seperti ini? (kaya lagi silat ,,, pake berkelit segala), tapi kalau harus dijawab dengan tulisan … wah repot juga neeh, … bisa-bisa engga selesai-selesai nulisnya. Soalnya, ada sejumlah atau segudang jawaban, ditambah lagi… dengan sekian alternatif, dan sekian opsi (musti ada diskusi interaktif … dengan para pakar bisnis), namun tunggu dulu, barangkali ada yang ingat dengan istilah Street Smart? … iya betul … terjemahan sederhananya kurang lebih … “cerdas di lapangan“, atau, .. kalau kita lagi ngobrol santai membahas suatu persoalan dengan group kita, …. kadang terlontar kata-kata, …. Ach tenang aja, … dia khan “jam terbangnya” udah tinggi, jadi persoalan kaya gitu sih Insya Allah bisa diatasi.

Kalau ada rekan2 milis yang pernah mengikuti dialog interaktifnya Oom Bob (Bob Sadino) kira2 tahun 2003 di Majalah Manajemen, barangkali masih ingat (mudah2 memori disk ana … ngga lagi error … he…he.he). Gambaran aplikatifnya;

“Cukup satu langkah awal. Ada krikil kita singkirkan,. .. terus melangkah … Bertemu duri kita sibakkan, maju terus … Terhadang lubang kita lompati … maju terus …. Bertemu api kita mundur sebentar (tunggu apinya padam … barangkali maksudnya Oom Bob ..ya), maju terus …., Berjalan terus dan mengatasi masalah … “. Jadi dengan kata lain kecerdasan di lapangan (street smart) termasuk modal Intangible yang oke punya … (luar biasa perannya).

Balik ke si George (lihat episode 1), hasil survey yang menanyakan; Sejauh mana relevansi antara latar belakang pendidikan dengan profesi yang kita geluti sekarang (bisnis)?, kurang lebih hasil survey mencatat : hubungannya sangat dekat, ada juga yang menjawab relevansi itu tetap ada, ….. ada juga yang menjawab tidak ada sama sekali, …. tapi yang terbanyak jawabannya ; “street smart is more important in business than an advanced degree”.

Jadi yang diperlukan sekarang sudah mulai kelihatan, yakni kecermatan, keberanian (harus berani berubah), dan kesiapan kita.

Kita musti cermat, ,supaya terhindar dari yang namanya “Kegagalan dalam bentuk kehabisan peluru”, atau “menanggung hutang”. Namun… Upayakan!!!, risiko itu (bila harus terjadi), hanya berupa kegagalan dalam bentuk “meleset tembakan kita”, atau belum banyak untung … oke!

Maju terus kawan, … kita perlu keberanian untuk melawan ketakutan kita yang membisikkan teror “bagaimana nanti kalau gagal?”, … dan lain-lain. Maksud ana, selama ketakutan semacam itu belum bisa kita atasi, sebaiknya … sembunyikan dulu keinginan kita untuk menjadi pebisnis (pengusaha). Dus.., jadi (sama ajang dong artinya dus … sama .. jadi), yang kita butuhkan sekarang adalah kesiapan mental untuk menumbuhkan bangkitnya kecerdasan yang namanya “Street Smart”.

Pebisnis harus kenyal seperti bola karet, biar jatuh berkali-kali …., harus tetap siap bangkit, …. mengapa?

“Kita tidak pernah tahu, pada kali keberapa, kita sukses“, gambarannya, mungkin kita tersandung tiga kali, lalu berhenti. Bisa jadi pada kesempatan yang ke empatnya kita sukses, … jadi rugi dong kalau baru tiga kali kesandung kita berhenti … iya khan?, tapi ada juga yang sampai tua belum sukses-sukses …. hm..hm.. hm, contohnya ana aja deh ….he..he.. he, kalau sukses itu barometernya musti punya pesawat! … soalnya ana baru punya pesawat telepon, itupun udah ana sangat syukuri, soalnya banyak yang udah tua juga belum punya pesawat telp. …. yang penting kita harus pandai bersyukur, dan jangan lupa memohon pertolongan Allah SWT.

Beberapa pakar kepribadian, melontarkan gagasan soal perbedaan karakter manusia unggul dan tukang panggul, professional dan pekerja. Katanya, manusia unggul dan profesional, adalah mereka yang selalu berfikir bagaimana terus menerus meningkatkan kualitas, sehingga performance selalu meningkat. Mereka menjadikan akal pikiran sebagai imam atas perut. Makanya mereka selalu bekerja dengan cerdas di lapangan kehidupan manapun juga, (termasuk dalam dunia bisnis). Sebaliknya, tukang panggul yang sekedar pekerja, … pencari nafkah, dan jauh dari sikap professional, selalu menjadikan perut sebagai imam atas otaknya. Mereka selalu dikelilingi masalah, dan tak pernah berinisiatif mencari solusi atas masalah. Dan, enggan menggunakan kemampuan akalnya,… walaupun sebenarnya mereka-mereka bisa jadi mempunyai potensi kecerdasan.

Bahwa Allah Ta’ala telah menciptakan manusia sebagai sesempurna mahluk. Punya otak dan punya hati, tak sekedar perut. Dan yang terpenting, sebagai insan beriman, kita punya Tuhan, yang selalu memelihara dan bersahabat dengan manusia yang optimistic, dan kita harus selalu pandai mencari solusi atas masalah yang timbul, mengembangkan gagasan segar dan cerdas, agar cepat keluar dari masalah yang dihadapi. Dan kualitas pebisnis tangguh akan nampak saat ia mengahadapi tantangan.

Selamat berjuang kawan, semoga Allah Ta’ala memudahkan jalan kita menuju kebaikan. Amin

Wassalamualaikum Wr. Wb,

H. Umar Hapsoro Ishak (Umar - Tukang Nasi)

*) Semua tulisan di blog ini, dapat dilihat juga di Kompasiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar