Silaturahim adalah suatu moment religi yang sangat luhur artinya. Dengan silaturahim diharapkan segala penyertaan beban emosi negatif yang bersumber dari konflik negatif yang biasanya diawali dari konflik interpersonal diantara kita dalam hubungan kita sehari-hari dengan siapapun dalam lingkup kehidupan kita dapat lenyap, luluh dan sirna dari bathin kita.Energi phisikis yang tadinya digunakan untuk mempertahankan emosi negatif, kita gunakan untuk mendukung perkembangan emosi positif kita demi kebangkitan perasaan baru yang bersih, ringan, nyaman serta bahagia sejak kita menginjakan kaki pada hari yang Fitri pada 1 Syawal 1430 Hijriah.
Saling memaafkan seyogyanya keluar dari hati yang paling dalam dan tulus, dalam artian kita kikis sisa-sisa emosi negatif seperti kemarahan, kebencian, iri hati dan kejengkelan ataupun perasaan-perasaan lain yang membuat kita terkunci pada masa lalu yang tidak mengenakan dan yang selama ini membebani kita.
Memang tidak dapat dipungkiri, hubungan interpersonal (antar manusia) dalam lingkup formal maupun tidak formal, apakah itu orang tua dan anak, kerabat, rekan kerja ataupun teman dalam pergaulan kita sehari-hari, kadang kala diwarnai dengan selisih paham, pendapat atau pandangan yang bisa memicu konflik terbuka maupun konflik terselubung. Dan setiap konflik dan pergaulan antar manusia akan selalu menyisakan emosi negatif yang terpendam, bahkan tidak jarang menjadi permusuhan yang berlanjut.
Emosi negatif dalam keadaan yang agak berlanjut, dapat menimbulkan ketidak selarasan emosi yang menyebabkan hidup seseorang dirasakan menjadi kurang menyenangkan dan kurang menguntungkan sekalipun keadaan sekitarnya memadai, karena tekanan emosinya mempengaruhi pikirannya. Menurut penyelidikan para ahli gejala pertamanya tanpa disadari oleh yang bersangkutan adalah, “ketidak mampuan menikmati waktu senggang” , gangguan umum yang lain adalah ketagihan kerja, dan timbulnya prasangka.
Dalam salah satu kalimat syair karya Ogden Nash yang berisi komentar terkenal mengenai kehidupan orang pada abad ke-20 yang berbunyi : “Kita menderita penyakit harus sibuk yang kian mengganas”, dan ahli psikoanalisis Alexander Reid Martin menyatakan bahwa kata-kata itu “menyedihkan karena memang benar”.
Dan pendapat lain mengatakan, bahwa gangguan psikologis sehari-hari yang jarang dikenal sebagai ganguan jiwa oleh penderitanya adalah prasangka. Merasa antipati terhadap anggota kelompok suatu suku, agama atau bangsa lain mungkin hanyalah sekedar cara agar tetap selaras dengan nilai-nilai yang dimiliki kelompoknya sendiri - “suatu penyesuaian diri tanpa berpikir”, demikian istilah Eugene B. Brody, guru besar psikiatri pada Universitas Marylands.
Nah, dalam silaturahim, sebenarnya kita diajarkan bagaimana cara menjaga keseimbangan hidup, dengan memaafkan siapapun yang selama ini membuat perasaan kita tidak nyaman akan membebaskan diri kita dari kondisi yang selama ini tidak kita inginkan. Mengapa? Tanpa kita sadari selama ini kita meyakini bila memaafkan kesalahan orang, keadaan yang tidak kita sukai akan terulang kembali. Padahal, bila keyakinan itu kita pertahankan, selain kita terbelenggu pada masa lalu, kitapun justru mengorbankan diri untuk sesuatu yang tidak kita sukai tersebut menjadi terulang kembali.
Ungkapkanlah salam takzim kita untuk meminta maaf kepada Orang Tua kita bila masih ada, dengan penuh rasa hormat dan kasih, serta salamilah kerabat, teman kerja, tetangga dengan hati ringan penuh kasih, dengan menatap wajah mereka. Maka kelelahan phisik dan mental, seketika akan tergantikan dengan kebahagiaan, karena kini kita terbebas dari beban emosi negatif yang membelenggu kita.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1430 Hijriah.
Mohon Ma’af Lahir & Bathin.
Kel. H. Umar Hapsoro Ishak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar