Rabu, 10 Februari 2010

Rasa Malu & Bersalah (Tergadaikan ?)

Syahdan, Khalifah Harun al-Rasyid marah besar kepada shahibnya yang karib dan setia, yaitu Abu Nawas. Ia ingin menghukum mati Abu Nawas setelah menerima laporan bahwa Abu Nawas mengeluarkan fatwa: “tidak mau ruku’ dan sujud dalam shalat.” … Lebih-lebih lagi, Harun al-Rasyid mendengar Abu Nawas berkata bahwa, … “khalifah yang suka fitnah!” … Menurut pembantu-pembantunya, Abu Nawas telah layak dipancung karena melanggar syariat Islam dengan menebar fitnah. Khalifah mulai terpancing. Tapi untung, ada seorang pembatunya yang nampaknya biasa-biasa saja (orangnya sangat besahaja) memberi saran, … hendaknya Khalifah melakukan tabayun (konfirmasi) terlebih dahulu kepada Abu Nawas.

Tak berapa lama, … Abu Nawas pun dipanggil dan digeret menghadap Khalifah, … Kini, ia menjadi pesakitan. “Hai Abu Nawas, benar kamu berpendapat tidak ruku’ dan sujud dalam salat?” .. tanya Khalifah dengan keras.
Abu Nawas menjawab dengan tenang, “Benar Saudaraku.”

Khalifah kembali bertanya dengan nada suara yang lebih tinggi, “Benar kamu berkata kepada masyarakat bahwa aku, Harun al-Rasyid adalah seorang khalifah yang suka fitnah?”
Abu Nawas menjawab, … “Benar Saudaraku.”

Khalifah berteriak dengan suara yang menggelegar, “Kamu memang pantas dihukum mati, karena melanggar syariat Islam dan menerbarkan fitnah tentang khalifah!”

Abu Nawas tersenyum seraya berkata, … “Saudaraku, memang aku tidak menolak bahwa aku telah mengeluarkan dua pendapat tadi, tapi sepertinya, kabar yang sampai padamu tidak lengkap, … kata-kataku diplintir, … dijagal, … seolah-olah aku berkata salah.”

Khalifah berkata dengan ketus, … “Apa maksudmu, jangan membela diri, kau telah mengaku dan mengatakan kabar itu benar adanya!”

Abu Nawas beranjak dari duduknya, dan menjelaskan dengan tenang, … “Saudaraku, aku memang berkata ruku’ dan sujud tidak perlu dalam shalat, tapi dalam shalat apa? … Waktu itu, aku menjelaskan tata-cara shalat jenazah yang memang tidak perlu ruku’ dan sujud.”

“Bagaimana soal aku yang suka fitnah?”, … tanya Khalifah.

Abu Nawas menjawab dengan senyuman, … “Kala itu, aku sedang menjelaskan tafsir ayat 28 surat al-Anfal, yang berbunyi “ketahuilah bahwa kekayaan dan anak-anakmu hanyalah fitnah (ujian) bagimu.” Sebagai khalifah dan seorang ayah, kamu sangat menyukai kekayaan dan anak-anakmu, berarti kamu suka “fitnah” (ujian) itu.” … Mendengar penjelasan Abu Nawas yang juga kritikan, Khalifah Harun al-Rasyid tertunduk malu, menyesal dan sadar.

Rupa-rupanya kedekatan Abu Nawas dengan khalifah Harun al-Rasyid menyulut rasa iri dan dengki di antara pembatu-pembatu khalifah lainnya. Kedekatan hubungan ini nampak ketika Abu Nawas memanggil Khalifah Harun al-Rasyid dengan kata “ya akhi” (saudaraku). Hubungan di antara mereka bukan lagi seperti hubungan antara tuan dan hamba. Pembantu-pembantu khalifah yang hasud ingin memisahkan hubungan akrab tersebut dengan memutar-balikkan berita.

Berapa banyak akhir-akhir ini di negeri tercinta, … kejadian yang mirip-mirip dengan kisah Abu Nawas diatas terjadi disekitar kita, … dan bahkan telah sedemikian parah “virus pembelokan opini” ini menebar di seputar PILLEG maupun PILPRES yang baru lalu, tanpa memiliki lagi rasa malu dan bersalah (tergadaikan) dari si penebarnya, … dengan meminjam istilah si Abu Nawas, .. “di plintir, .. dijagal, … di belokan arahnya dengan sengaja, sehingga mengubah arti, maksud dan tujuan yang sebenarnya (pembelokan opini publik).”

Kepada sahabat imajinerku Abu Nawas, … boleh khan saya pakai kisah ini buat melanjutkan tulisan saya “Logika Bengkok” yang kemarin dulu di posted di blog ini, … dan sekalian memenuhi janji saya kepada rekan-rekan kompasianer yang mengusulkan tulisan tentang “Penjungkir-balikkan Opini”, … soalnya materi tentang “disinformasi” masih belum rampung ngumpulin bahan-bahannya.

Btw, …. sukron ya … akhi Abu.

Salam,

H. Umar Hapsoro Ishak

(Penulis adalah sahabat dialog imajinernya Abu Nawas di Kantin Rasamala cyberzone).

Sekilas tentang sahabat imajinerku Abu Nawas ;

Abu Nawas orang Persia yang dilahirkan pada tahun 750 M di Ahwaz meninggal pada tahun 819 M di Baghdad. Setelah dewasa ia mengembara ke Bashra dan Kufa. Di sana ia belajar bahasa Arab dan bergaul rapat sekali dengan orang-orang Badui Padang Pasir. Karena pergaulannya itu ia mahir bahasa Arab dan adat istiadat dan kegemaran orang Arab. Ia juga pandai bersyair, berpantun dan menyanyi. Ia sempat pulang ke negerinya, namun pergi lagi ke Baghdad bersama ayahnya, keduanya menghambakan diri kepada Sultan Harun Al Rasyid Raja Baghdad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar